Cari Blog Ini
Penyebaran Bakteri Patogen
R. solanacearum merupakan patogen tular
tanah dan dapat menyebar dengan mudah
melalui bahan tanaman, alat pertanian, dan
tanaman inang (Sitepu dan Mogi 1996).
Kemampuan bakteri tanah bertahan hidup
diduga sangat bergantung pada keberadaan
tanaman inang. Supriadi et al. (1995)
menemukan berbagai tanaman inang R.
solanacearum dari berbagai lokasi di
Indonesia. Isolat-isolat yang diperoleh dari
tanaman inang tersebut bervariasi dalam
hal biovar dan patogenisitasnya. Strain
patogen yang spesifik pada tanaman
inang terdapat pada lahan tertentu. Hal
tersebut berkaitan dengan faktor lingkungan,
baik faktor abiotik seperti suhu,
tipe tanah, dan curah hujan maupun faktor
biotik, sebagai contoh keberadaan nematoda
dapat memperparah serangan
penyakit layu bakteri pada beberapa jenis
tanaman (Hayward 1994) termasuk nilam,
karena nilam merupakan salah satu
tanaman inang bagi nematoda (Mustika
dan Nuryani 1993; Mustika 1996).
Pada medium Yeast Peptone Agar (YPA),
bakteri patogen berbentuk koloni tidak teratur,
berwarna putih dan fluidal yang merupakan
ciri khas koloni R. solanacearum
(Sitepu dan Asman 1989; Radhakrishan et
al. 1997; Supriadi et al. 2000; Nasrun 2005).
Bakteri patogen mempunyai daya virulensi
yang berbeda-beda dengan masa inkubasi
14,60−39,30 hari setelah inokulasi (Nasrun
2005).
Bakteri R. solanacearum mempunyai
reaksi negatif terhadap hidrolisis pati,
gelatin, arginin dan produksi levan, dan
bereaksi positif terhadap uji katalase, oksidase,
akumulasi PHB, dan denitrifikasi.
Isolat bakteri patogen dapat tumbuh pada
NaCl 0−2% dengan pH 4−8,50 dan suhu
13−37oC, tetapi tidak dapat tumbuh pada
suhu 41oC. Jika bakteri ditumbuhkan pada
medium YPA ditambah tetrazolium salt
dan diinkubasi selama 24 jam maka akan
terlihat koloni berwarna putih, fluidal
dengan pusat koloni berwarna merah
jambu (Nasrun 2005). Tipe koloni ini merupakan
koloni R. solanacearum virulen
(Hayward 1994). Dari pengecatan negatif
dan setelah diuji dengan HCl terlihat
bakteri berbentuk batang dan bersifat gram
negatif. Berdasarkan karakterisasi bakteri
patogen dengan berpedoman pada sifat-sifat bakteri dan bentuk koloni bakteri
dengan mengacu pada metode Hayward
(1976) dan Denny dan Hayward (2001),
diketahui bahwa bakteri patogen penyebab
penyakit layu bakteri pada nilam
adalah R. solanacearum.
R. solanacearum dapat menggunakan
sumber karbon dari dektrosa, manitol,
sorbitol, dulsitol, trehalosa, laktosa, maltosa
dan selobiosa, yang berarti bakteri ini termasuk
biovar III (Hayward 1964; Denny
dan Hayward 2001). Hasil uji patogenisitas
pada berbagai jenis tanaman menunjukkan
bahwa isolat R. solanacearum dapat
menginfeksi tomat, cabai, terung, dan
tembakau dengan memperlihatkan gejala
layu. Sebaliknya R. solanacearum tidak
menginfeksi kacang tanah lokal, jahe,
pisang emas, pisang cavendish, dan
heliconia (Nasrun 2005). Hasil uji kisaran
inang ini menunjukkan bahwa R. solanacearum
dapat menyerang tanaman
kelompok Solanaceae, dan bakteri ini termasuk
ke dalam ras 1 (Buddenhagen et al.
1962 dalam Hayward 1964).
Tanaman cabe dan tomat merupakan dua tanaman yang mempunyai nilai ekonomis tinggi serta perlu modal dan keahlian yang cukup apabila ingin membudidayakannya. Hambatan utama yang sering ditemui prtani dalam membudidayakan tanaman cabe dan tomat adalah serangan penyakit layu bakteri. Di Indonesia laporan tentang adanya penyakit ini sebenarnya sudah ada sejak lama yaitu pada tahun 1921/1922 di daerah Madiun dan kediri Jawatimur (Van. Hall,1922,1923).Intensitas serangan penyakit ini bervariasi di tiap daerah. Di Jawa Timur dan Jawa Tengah intensitas serangan mencapai 6 % sedang di Lampung dan Jawa Barat intensitas serangannya dapat mencapai 27 % dan hampir 90 % tanaman cabe yang di tanam di dataran rendah terserang penyakit ini. (Suhardi.1988). Patogen penyakit layu bakteri ini adalah Pseudomonas solana cearum ( E.F.Sm.) E.F.Sm.yang juga dikenal dengan nama Xanthomonas solanacearum (E.F.Sm)Dowson, Bakterium solanacearum (E.F.Sm.)E.F.Sm,dan Phytomonas solana cearum (E.F.Sm.)Bergey et al. Bakteri berbentuk batang dengan ukuran 0,5 X 1,5 mikron, tidak berspora, tidak berkapsula, bergerak dengan satu bulu cambuk (Flagellum) poler, aerob, Gram negatif.Koloni diatas medium agar-agar keruh, berwarna kecoklatan, kecil, tidak teratur, halus, mengkilat, kebasah basahan. Bakteri ini diketahui mempunyai banyak ras yang berbeda virulensinya .Disimpulkan bahwa yang terdapat di Indonesia adalah ras 1 dan ras 3. Ras 1 diisolasi dari tomat, kentang, tembakau ,kacang tanah, terung, dan beberapa spesies gulma umum yang terdapat di dataran rendah tropika.Ras 3 khusus menyerang tanaman kentang yang umum terdapat di dataran tinggi tropika (Hutagalung,1984).
Bakteri penyakit layu ini mempunyai banyak tumbuhan inang, antara lain tomat, cabe, terung, tembakau , kacang tanah dan jenis tanaman terung terungan (Solanaceae). Bakteri ini dapat terangkut oleh air , melalui tanah dan alat-alat pertanian yang digunakan serta bibit yang di gunakan bila mengandung penyakit dapat juga menular kannya. Bakteri ini dapat menginfeksi bagian-bagian tanaman yang utuh yang berada dalam tanah dan proses infeksinya akan lebih cepat terutama pada bagian-bagian tanaman yang terluka.
Colletotrichum capsici
Gejala pertama biasanya muncul pada buah yang telah
matang, dengan luka kecil yang basah dan cekung. Luka membesar dengan
sangat cepat dan jamur membentuk karateristik gejala berupa
lingkaran spora berwarna gelap yang banyak terdapat pada luka. Infeksi
berat menyebabkan buah menjadi kering dan mengerut. Anthracnose
mungkin menginfeksi saat di lapangan atau terjadi pembusukan setelah
dipanen.
rekomendasi:
gunakan fungi berbahan aktif : Propineb , Copper oxychloride, Tebuconazole , TEMBAGA HIDROKSIDA , mancozeb, benomyl.
Perawatan di lingkungan sekitar tanaman mutlak dilakukan, terutama wiwil, penyiangan gulma dan pengaliran air yang tergenang. Semua faktor tersebut di atas merupakan bagian dari tindakan pencegahan, yang ditujukan agar lingkungan sekitar tanaman tidak lembab, mengingat Pethek (Antracnose) disebabkan oleh jamur yang perkembangannya sangat didukung oleh lingkungan yang lembab. Apabila tanaman sudah terserang dapat ditanggulangi dengan disemprot Fungisida sistemik dan kontak secara bergantian.
* AGRICURA SPECIAL FUNGICIDE ® - 50 % benomyl
W.P.
A systemic fungicide for control of powdery mildew on grapes, peas,
strawberries, cucurbits and all deciduous fruit, Botrytis on grapes and
strawberries, Ascochyta and Mycosphaerella on peas and leaf spot on
celery. See Benlate Fungicide.
*
AGRIDUST ® - 5%
malathion + 6,5% copper oxychloride + 65% dusting sulphur
An insecticide and two fungicides blended into a dust for control of
certain insect pests and powdery mildew on vegetables and ornamentals
in the home garden. See under insecticides/acaricides. Also see
Vegidust
ALIETTE
® WP - 80% fosetyl-Al
A systemic fungicide for control of
Phytophthora root rot on avocados, and Phytophthora root rot and collar
rot on citrus.
APRON ® 35 SD - 35%
metalaxyl
A systemic seed dressing for control of downy mildew on seed
sunflower
Ascochyta and Mycosphaerella on peas; and loose smut on wheat. See
Agricura Special Fungicide.
BAYCOR ® 300 EC
- 30 % bitertanol
A systemic fungicide for control of Cercospora leaf spot and Phoma
leaf blotch on groundnuts, rust and powdery mildew on roses and rust on
carnations
BAYFIDAN ® 1 %
G - 1 % triadimenol
A granular systemic fungicide for leaf rust control on coffee.
BAYFIDAN ®
250 EC - 25 % triadimenol
A systemic fungicide with curative properties for the control of
leaf rust on coffee and smut on sugarcane.
BAYTAN ® 15 %
WP - 15 % triadimenol
A seedbed applied systemic fungicide for control of soreshin on
tobacco seedlings and as a seed dressing for smut and bunt control on
wheat and barley.
BENLATE ®
FUNGICIDE - 50 % benomyl
W.P.
A systemic fungicide for control of powdery mildew on apples, pears,
cucurbits, grapes, apricots, peaches, plums, peas and strawberrries
Botrytis on grapes and strawberries; brown rot on peaches and plums;
scab and sooty blotch on apples and pears; black spot on citrus; leaf
spot on celery; grey leaf spot on maize; Botrytis stem rot and
Cercospora leaf spot on groundnuts; frogeye on soyabeans and tobacco;
pineapple disease on sugarcane; fruit rot in bananas; Fusarium on coffee
BRASSICOL ® 75 WP - 75% quintozene
A seed dressing or soil treatment contact fungicide
for control of Rhizoctonia on beans, cotton, ornamentals, vegetables,
carnations, gladioli, peppers, tomatoes and potatoes; Sclerotinia on
beans and gladiolus; Sclerotium on groundnuts, onions, soyabeans,
peppers and tomatoes; smut on wheat, barley, oats and sorghum; scab on
potatoes and Aspergillus on groundnuts.
BRAVO ® 500 SC - 50% chlorothalonil
A broad spectrum contact fungicide for the
preventative control of leaf spot diseases and web blotch on
groundnuts; early and late blight on potatoes and tomatoes; downy mildew
and anthracnose on cucurbits; fungal diseases on lawns and turf;
Alternaria on apples and in tobacco seedbeds; and Anthracnose on
pyrethrum.
CAPTAN
50% WP - 50 % captan
A contact fungicide for control of scab on apples and pears;
freckle, gum spot and green rot on apricots; brown rot on peaches and
plums; leaf spot on celery; seed-borne diseases on groundnuts, maize and
soyabeans; leaf spot diseases on lawns; leaf spot on potatoes and
tomatoes; Anthracnose on pyrethrum; black spot on roses; Botrytis and
leaf spot on strawberries; and Anthracnose on grapes. Also used as a
drench treatment of potting soil and seedbeds for control of soil-borne
fungi causing damping off
COPPER OXYCHLORIDE 60 FW - 60 % copper oxychloride (36 % Cu)
A contact fungicide for control of wildfire and angular leafspot in
tobacco seedbeds; early blight on tomatoes and leaf rust on coffee.
* COPPER OXYCHLORIDE 85 WP - 85 %
copper oxychloride (50 % Cu).
A contact fungicide for control of a wide range of diseases on many
crops including scab on apples, pears and pecan nuts; rust, Cercospora
and Fusarium on coffee; early and late blight on potatoes and tomatoes;
wildfire and angular leaf spot on tobacco; black spot on citrus, mangoes
and roses; leaf spot on ornamentals, celery, granadillas and
strawberries; rust on ornamentals; Anthracnose and downy mildew on
grapes; bacterial spot on apricots, peaches and plums; bacterial blight
on beans; downy mildew on brassicas and cucurbits; and slime mould on
lawns.
* COSAN ®
WETTABLE SULPHUR - 80 % sulphur
A micronised formulation of wettable sulphur for control of powdery
mildew on grapes, apples, peaches, plums, nectarines, tomatoes,
cucurbits, vegetables, peas, ornamentals and mangoes. Also controls grey
mite on citrus and tomato mite on tomatoes. See under
insecticides/acaricides
DICLORAN 50 WP - 50 % dicloran
A contact fungicide for control of fungal barn
rot on tobacco; brown rot on peaches; dry rot on gladioli; Botrytis on
lettuce, strawberries and tomatoes; stem canker on tomatoes and white
rot on garlic and onions.
* DITHANE
M45 ®
W.P. - 80 % mancozeb
A contact fungicide for control of early and late blight on potatoes
and tomatoes; Anthracnose and Alternaria on tobacco seedbeds;
Anthracnose, black spot, downy mildew and rust on roses; Anthracnose,
rust and scab on beans; leaf blight on carrots; Anthracnose and downy
mildew on cucurbits; Alternaria on leeks and onions and downy mildew on
brassicas, grapes, onions and peas.
* DUSTING SULPHUR - 98 %
sulphur
A dust formulation of sulphur for control of red spider mite on
beans, brassicas, cucurbits, carrots, peas and tomatoes; powdery mildew
on ornamentals, peaches and grapes; thrips on celery, cucurbits,
lettuce, onions and turnips and russet mite on tomatoes. See under
insecticides/acaricides.
FOLICUR ® 25
WP - 25 % tebuconazole
A systemic fungicide for control of Alternaria on apples.
FOLICUR ®
250 EC - 25 % tebuconazole
A systemic fungicide for control of Cercospora leaf spot and grey
mould on groundnuts; net blotch on barley; Alternaria in tobacco lands
and rust on coffee and beans.
FUNGAZIL ® 75 SP - 75 % imazalil
A contact fungicide used as a dip or brush on treatment for control
of post harvest diseases of citrus.
* FUNGINEX ® EC - 19 %
triforine
A systemic fungicide for control of black spot and powdery mildew on
roses; powdery mildew on cucurbits, apples and ornamentals; scab on
apples and rust on carnations.
* LIME SULPHUR –
24,8 % polysulphides
A contact poison with residual action used as a dormant spray
against mites, scale and over-wintering disease spores on deciduous
fruit, vines and ornamentals. See under Insecticides/Acaricides.
MANCOZEB 80 WP -
80% mancozeb
See Dithane M45 fungicide
MELTATOX ®
EC - 42% dodemorph acetate
A systemic fungicide for control of powdery mildew on roses and
other ornamental plants.
MIKAL
® – M WP - 44%
fosetyl-Al + 26% mancozeb
A combination of a systemic and a contact fungicide for control of
downy mildew on vines.
MILRAZ ®
76%WP - 70% propineb + 6% cymoxanil
A combination of a contact and a translaminar fungicide for control
of late blight on potatoes and tomatoes.
NIMROD
® - 25% bupirimate
A systemic fungicide for control of powdery
mildew on roses.
NUSTAR ® 250 EW - 25 % flusilazole
A systemic fungicide for control of powdery
mildew on apples and mangoes; frogeye on soyabeans and grey leaf spot on
maize.
PREVICUR N ® SC - 72 % propamocarb - HCl
A systemic fungicide for the prevention of damping-off diseases of
ornamentals and avocados in nurseries.
PUNCH XTRA ® SC – 12,5 % flusilazole + 25% carbendazim
A combination of two systemic fungicides from the benzimidazole and
triazole groups for the control of grey leaf spot on maize and frogeye
on soyabeans.
REPULSE ® 5.75 % G - 5 % disulfoton + 0.75 % triadimenol
A systemic insecticide + fungicide granular formulation for control
of leaf miner and leaf rust on coffee. See under
Insecticides/Acaricides.
RIDOMIL ® 5 G - 5 %
metalaxyl
A granular systemic formulation for control of Phytophthora on
citrus
RIDOMIL ® MZ 72WP - 8 % metalaxyl +
64 % mancozeb
A systemic and contact fungicide combination
for the curative control of downy mildew on grapes, brassicas,
cucurbits, spinach and onion and late blight on potatoes and tomatoes.
RIZOLEX ®
50 WP - 50 %
tolclofos-methyl
A contact fungicide for the control of Rhizoctonia on cotton
ROVRAL ® 250 SC -
25 % iprodione
A contact suspension concentrate fungicide for Alternaria control in
tobacco lands.
RUBIGAN ® EC –
12,5% fenarimol
A systemic fungicide for control of scab on apples.
SCORE ® 250 EC - 25 % difenoconazole
A systemic fungicide for the control of
Alternaria on apples and Cercospora on groundnuts
SPORGON ® 50 WP - 50 % prochloraz manganese chloride
complex
A contact fungicide for the control of powdery mildew on roses
SUMISCLEX ®
50 WP - 50 % procymidone
A translaminar fungicide for control of Botrytis on grapes and early
blight on tomatoes.
TECTO
® FLOWABLE FUNGICIDE - 45.1 % thiabendazole
A systemic fungicide for control of storage moulds on apples, pears,
avocados, bananas, citrus and musk melons; Rhizoctonia and Fusarium on
cotton and potatoes; and leaf spot on lawns. Also used for disinfection
of empty cold stores.
* THIRAM 80 WP - 80 %
thiram
A contact fungicide for control of scab on apples; Anthracnose, scab
and rust on beans; leaf curl on peaches and nectarines; Anthracnose on
grapes and in tobacco seedbeds. Also used on all crops as a soil drench
or seed treatment to control soil borne fungi causing the damping off of
germinating seedlings
TILT ® 250 EC -
25 % propiconazole
A systemic fungicide with high vapour action for control of leaf
rust on coffee; leaf spot diseases on wheat and barley and smut on sugar
cane.
TOPAS ® 100 EC - 10 % penconazole
A systemic fungicide for control of powdery
mildew on cucurbits and apples.
TOPSIN-M
® 50% SC– 50%
thiophanate-methyl
A systemic fungicide for control of powdery mildew and scab on
apples and pears; black spot on citrus and black spot and powdery mildew
on roses.
TRICHODERMA T77 ® - Trichoderma
harzianum T77
A cultured fungus for control of soreshin on
tobacco. Applied to the seedbeds before sowing seed.
TRICHODERMA
TM4 ® - Trichoderma harzianum TM4
A cultured fungus for control of soil-borne diseases on paprika.
Applied to the seedbeds before sowing seed.
* VEGIDUST ® - 5 % malathion + 6,5 % copper
oxychloride + 65 % dusting sulphur
An insecticide and two fungicides blended into a dust for control of
certain insect pests and powdery mildew on vegetables and ornamentals
in the home garden. See under insecticides/acaricides. Also see
Agridust
Hambatan paling besar bertanam cabe biasanya datang dari keberadaan hama dan penyakit seringkali yang membuat tanaman rusak pada bagian tertentu yang bisa menyebabkan puso. Cukup banyak jenis-jenis hama maupun penyakit yang menyerang tanaman cabe ini dari fase benih sampai panen. Namun hanya beberapa yang utama dan paling merusak. Berikut adalah pembahasan mengenai hama dan penyakit utama pada tanaman cabe.
Sebagai tanaman budidaya, tentu saja pengembangan tanaman cabe tidak bisa terlepas dari pengendalian hama dan penyakit. Meskipun komoditas ini sangat menjanjikan, namun tidak sedikit dari para petani kita yang mengeluh akibat kehadiran pengganggu keberhasilan budidayanya. Tidak hanya hama, bahkan penyakit pun kerap menjadi penyebab utama kerusakan cabe. Kerugian yang diakibatkan hama maupun penyakit telah membuat tidak sedikit para petani yang bangkrut dan kapok untuk bertanam lagi. Sebagai pertimbangan, pada Harian Kompas mengungkapkan daerah Kediri sebagai salah satu sentra produksi cabe di Jatim banyak yang terserang Antracnose atau yang lebih populer dengan pathek ini beberapa waktu yang lalu. Dimana, ribuan hektar pohon cabe gagal dipanen gara-gara kehadiran penyakit itu. Ini hanya satu kasus saja, belum serangan hama maupun penyakit lain yang bisa merugikan petani. Menurut sebagian petani hingga kini belum ada cara yang benar-benar ampuh untuk mengobati buah cabe yang sudah terserang hama dan penyakit. Bukannya mereka tidak mau tahu atau pasrah terhadap kehadiran “para pengganggu” ini, namun sudah banyak yang dilakukan dalam upaya mengobati tanaman yang sudah terkena serangan. Salah satunya adalah dengan penyemprotan baik itu menggunakan insektisida maupun fungisida. Karena saking tingginya kekhawatiran akan meluas atau terkena serangan, penyemprotan seringkali dilakukan secara serampangan tanpa pertimbangan. Akibatnya kesalahan pemilihan pestisida yang diberikan dan teknik pengendalian yang kurang baik bisa menjadi bumerang yang berakibat fatal. Untuk itulah, teknik pengendalian yang baik yang dikenal dengan tehnik pengendalian hama terpadu sangat dianjurkan untuk mengatasi musuh-musuh utama tanaman cabe ini. Berikut adalah musuh-musuh utama petani cabe yang sering menyerang tanaman cabe.
Thrips
Hama thrips (Thrips Sp.) sudah tidak asing lagi bagi para petani cabe. Menurut beberapa sumber, thrips yang menyerang cabe tergolong sebagai pemangsa segala jenis tanaman, jadi serangan pada tanaman cabe hanya salah satunya saja. Dengan panjang tubuh sekitar + 1 mm, serangga ini tergolong sangat kecil namun masih bisa dilihat dengan mata telanjang. Thrips biasanya menyerang bagian daun muda dan bunga. Serangan paling parah biasanya terjadi pada musim kemarau, namun tidak menutup kemungkinan pada saat musim hujan bisa juga terjadi serangan. Gejala yang bisa dikenali dari kehadiran hama ini adalah adanya strip-strip pada daun dan berwarna keperakan. Adanya noda keperakan itu tidak lain akibat adanya luka dari cara makan hama thrips. Dalam beberapa waktu kemudian, noda tersebut akan berubah warna menjadi coklat muda. Yang paling membahayakan dari thrips adalah selain dia sebagai hama perusak namun juga sebagai carrier atau pembawa bibit penyakit (berupa virus) yang menyebabkan penyakit pada tanaman cabe. Untuk itu, bila kita mampu mengendalikan hama thrips, tidak hanya memberantas dari serangan hama namun juga bisa mencegah penyebaran penyakit akibat virus yang dibawanya.
Meskipun tidak separah serangan pada tanaman pangan, tikus juga berpotensi merusak buah tanaman cabe. Mereka biasanya menyerang bagian buahnya. Meskipun persentasenya tergolong sedikit, serangan tikus pada tanaman cabe tetap harus diwasdapai dengan cara selalu rutin membersihkan kebun cabe dari gulma dan semak-semak yang bisa menjadi tempat sarang sekaligus perlindungan tikus.
Tidak ada yang memungkiri bahwa Antracnose atau yang lebih dikenal dengan istilah “pathek” adalah penyakit yang hingga saat ini masih menjadi momok petani cabe. Bagaimana tidak? Buah yang menunggu panen dalam beberapa waktu berubah menjadi busuk oleh penyakit ini. Sudah banyak petani yang menjadi korban keganasannya. Sekali tanaman cabe kita terkena antraknosa, maka akan sulit bagi kita untuk mengendalikannya. Oleh karena itu tindakan paling baik untuk penyakit ini adalah melakukan pencegahan sebelum terjadinya serangan. Gejala awal yang dapat dikenali dari serangan penyakit ini adalah adanya bercak yang agak mengkilap, sedikit terbenam dan berair. Lama – kelamaan busuk tersebut akan melebar membentuk lingkaran konsentris. Dalam waktu yang tidak lama maka buah akan berubah menjadi coklat kehitaman dan membusuk. Ledakan penyakit ini sangat cepat pada musim hujan. Penyebab penyakit ini tidak lain adalah jamur C. capsici. Jamur ini menyerang tidak pandang bulu, karena baik buah cabe yang masih hijau atau sudah masak pun tidak luput darinya. Penyakit ini sangat mudah menyebar ke buah atau tanaman lain. Penyebarannya tidak hanya melalui sentuhan antara tanaman saja melainkan juga bisa karena percikan air, angin, maupun melalui vektor. Tidak ada satu pun cara yang bisa dilakukan agar penyakit ini bisa 100% , namun kita bisa mencegahnya dengan kultur teknis yang baik. Dapat juga dilakukan pembersihan atau pembuangan bagian tanaman yang sudah terserang agar tidak menyebar. Selain dengan cara budidaya yang baik, saat pemilihan benih harus kita lakukan secara selektif . Disarankan agar menanam benih cabe yang memiliki ketahanan terhadap penyakit pathek. Penggunaan benih sembarangan akan beresiko terjadinya serangan penyakit. Secara kimia, pengendalian penyakit ini dapat disemprot dengan fungisida bersifat sistemik yang berbahan aktif triadianefon dicampur dengan fungisida kontak berbahan aktif tembaga hidroksida seperti Kocide 54WDG, atau yang berbahan aktif Mankozeb seperti Victory 80WP.
Kegiatan pertanian yang meliputi budaya bercocok tanam dan memelihara ternak merupakan kebudayaan manusia paling tua. Tetapi dibandingkan dengan sejarah keberadaan manusia, kegiatan bertani ini termasuk masih baru. Sebelumnya, manusia hanya berburu hewan dan mengumpulkan bahan pangan untuk dikonsumsi.
Sejalan dengan peningkatan peradaban manusia, pertanianpun berkembang menjadi berbagai sistem. Mulai dari sistem yang paling sederhana sampai sistem yang canggih dan padat modal. Berbagai teknologi pertanian dikembangkan guna mencapai produktivitas yang diinginkan.
Di lain fihak, ilmu pertanianpun berkembang. Ilmu pertanian kemudian tumbuh bercabang-cabang, terspesialisasi, seperti misalnya agronomi, ilmu tanah, sosial ekonomi, proteksi tanaman, dsb.
Kemajuan ilmu dan teknologi, peningkatan kebutuhan hidup manusia, memaksa manusia untuk memacu produktifitas menguras lahan, sementara itu daya dukung lingkungan mempunyai ambang batas toleransi. Sehingga, peningkatan produktivitas akan mengakibatkan kerusakan lingkungan, yang pada ujungnya akan merugikan manusia juga. Berangkat dari kesadaran itu maka muncullah tuntutan adanya sistem pertanian berkelanjutan.
Definisi komprehensif bagi pertanian berkelanjutan meliputi komponen-komponen fisik, biologi dan sosioekonomi, yang direpresentasikan dengan sistem pertanian yang melaksanakan pengurangan input bahan-bahan kimia dibandingkan pada sistem pertanian tradisional, erosi tanah terkendali, dan pengendalian gulma, memiliki efisiensi kegiatan pertanian (on-farm) dan bahan-bahan input maksimum, pemeliharaan kesuburan tanah dengan menambahkan nutrisi tanaman, dan penggunaan dasar-dasar biologi pada pelaksanaan pertanian.
Salah satu pendekatan pertanian berkelanjutan adalah input minimal (low input) secara khusus ditulis oleh Franklin H. King dalam bukunya Farmers of Forty Centuries. King membandingkan penggunaan input minimal dan pendekatan berkelanjutan pada pertanian daratan Timur (oriental) dengan apa yang dia lihat sebagai kesalahan metoda yang digunakan petani Amerika. Gagasan King adalah bahwa sistem pertanian memiliki kapasitas internal yang besar untuk melakukan regenerasi dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya internal.
Baru-baru ini, Undang-undang Produktivitas Pertanian Amerika, yang merupakan bagian dari Undang-undang Keamanan Pangan 1985, menyediakan kewenangan untuk melaksanakan program riset dan pendidikan pada sistem pertanian alternatif -yang kemudian dikenal sebagai pertanian berkelanjutan dengan input minimal (Low Input Sustainable Agriculture (LISA)). Pada bulan Desember 1987, Kongres Amerika menyetujui US $ 3,9 juta untuk memulai pekerjaan tersebut atas dasar undang-undang Keamanan Pangan. Undang-undang tersebut memberikan mandat untuk melakukan investigasi ilmiah pada a) peningkatan produktivitas pertanian, b) produktivitas lahan sentra produksi, c) mengurangi erosi tanah, kehilangan air dan nutrisi, dan d) melakukan konservasi sumberdaya natural dan energi.
Petani Amerika saat ini sedang mencari sumberdaya yang efisien, biaya lebih rendah, dan sistem-sistem produksi yang lebih menguntungkan. Siapapun yang bergerak di bidang pertanian seharusnya berbagi kepedulian yang lebih luas pada masyarakat dalam mendukung lingkungan yang bersih dan nyaman. Selama sepuluh tahun terakhir, telah terjadi paradigma yang mengangkat masyarakat pertanian dari kondisi yang mengharuskan produktivitas lebih tinggi menuju suatu kondisi masyarakat yang peduli pada keberlanjutan. Hal ini dirasakan sebagai suatu kesalahan bahwa produktivitas yang tinggi dari kegiatan pertanian konvensional telah menimbulkan biaya kerusakan yang cukup siginifikan terhadap lingkungan alam dan disrupsi masalah sosial.
Dalam usaha mengalihkan konsekuensi-konsekuensi negatif pertanian konvensional, beberapa format sistem pertanian berkelanjutan yang berbeda telah direkomendasikan sebagai alternatif-alternatif untuk mencapai tujuan sistem produksi pertanian yang dapat menguntungkan secara ekonomi dan aman secara lingkungan. Kepentingan dalam sistem pertanian alternatif ini sering dimotivasi dengan suatu keinginan untuk menurunkan tingkat kesehatan lingkungan dan kerusakan lingkungan dan sebuah komitmen terhadap manajemen sumberdaya alam yang berkeadilan. Tetapi kriteria yang paling penting untuk kebanyakan petani dalam mempertimbangkan suatu perubahan usaha tani adalah keingingan memperoleh hasil yang layak secara ekonomi. Adopsi terhadap metode pertanian alternatif yang lebih lebar ini membutuhkan bahwa metode tersebut sedikitnya sama kualitasnya dalam memperoleh keuntungan dengan metode konvensional atau memiliki keuntungan-keuntungan non-keuangan yang signifikan, seperti sebagai usaha menjaga penurunan kualitas sumberdaya air dan tanah secara cepat.
Riset dan pendidikan bergerak terbatas diantara para peneliti atau mahasiswa. Sebagaimana seorang mahasiswa menjadi lebih baik diberikan pendidikan mengenai pengetahuan praktis pertanian berkelanjutan, lebih memiliki minat dan dana akan ditingkatkan untuk mendukung riset selanjutnya. Jaminan peneliti dan ketersediaan dana penelitian ini akan lebih memberikan harapan untuk meningkatkan minat pada pendidikan yang memandu riset selanjutnya secara umum. Pooling pendapat yang dilakukan mahasiswa di sejumlah fakultas seluruh Amerika menunjukkan ketertarikan pada pertanian berkelanjutan. Kebanyakan mereka mempertanyakan masalah-masalah pertanian berkelanjutan sebagai sebuah pemikiran yang tidak dapat diadopsi dalam program agroekologi. Mereka memberikan komentar bahwa penurunan dampak lingkungan akibat usaha pertanian berkelanjutan sebagai sebuah keuntungan yang besar dari meninggalkan usaha pertanian konvensional. Lebih banyak riset yang dilakukan pada pertanian berkelanjutan ini, program-program pendidikan yang lebih baik akan dapat dilaksanakan di wilayah ini.
Ketika perubahan dari kegiatan pertanian konvensional ke pertanian berkelanjutan dilaksanakan, perubahan sosial dan struktur ekonomi juga akan terjadi. Pada saat input menurun, terdapat hubungan yang menurun pula pada hubungan kerja terhadap mereka yang selama ini terlibat dan mendapatkan manfaat dari pertanian konvensional. Hasilnya adalah terdapat banyak kemungkinan yang dapat ditemukan yaitu meningkatnya kualitas hidup, dan peningkatan kegiatan pertanian mereka. Dalam mengadopsi input minimal (low input) sistem-sistem berkelanjutan dapat menunjukkan penurunan potensial fungsi-fungsi eksternal atau konsekuensi-konsekuensi negatif dari jebakan sosial pada masyarakat. Petani sering terperangkap dalam perangkap sosial tersebut sebab insentif-insentif yang mereka terima dari kegiatan produksi saat ini
Apa kabar para warga TANI....saya yakin semua dalam keadaan sehat walafiat lahir dan batin....Saya baru saja menguji sebuah alternatif untuk mengihindari layu akibat pantulan dari mulsa untuk tanaman semangka. Dan saya yakin bisa diterapkan di DUNIA CABE.
Alternatifnya adalah dengan menggunakan tabung bambu. Tabung bambu yang semula panjang, kita potong sepanjang kurang lebih 5 cm, Tetapi hindari rosnya. Yang kita butuhkan hanya tabung nya bukan ros. Potonglah sebanyak yang dibutuhkan.
Untuk pemasangannya ketika ponjo (waktu tanam). Bibit ditanam dahulu kemudian masukkan tabung bambu tersebut. Seperti gambar dibawah ini.